Wewangian itu menguar seperti itu pekat di udara. Obrolan dengan Suhartono, Kepala Dusun Nating juga terasa lebih hangat dengan segelas kopi. Padahal arabika khas Nating itu cuma diseduh lazim, melainkan dua atau tiga gelas dapat habis sekali teguk.
Hujan di luar juga terasa sia-sia jikalau dilewatkan tanpa menghidu wangi-wangian kopi. Sebagian potongan dialog film populer asal Makassar, “Kopi boleh pahit, hidupmu jangan!” Kenyataannya, sajian kopi di rumah-rumah warga Dusun Nating tidak pernah terasa pahit.
Baca Juga: Keunggulan pakai mesin diesel
Tak besar masyarakat juga masih menyeduh dengan sistem tradisional. Kalau ada alat-alat profesional ala barista atau resto modern. Kopi bubuk plus gula yang diseduh air panas dianggap telah dapat membikin kerongkongan hangat.
Ketinggian dusun Nating dan Katabi yang berada di atas 1600 mdpl memang tidak pernah lepas dari hawa menikam. Suhunya dapat menempuh kisaran 15 derajat celcius.
Sampai musim hujan tiba, masyarakat takkan pernah dapat lepas dari sweater dan selimut. Orang-orang juga lazimnya takkan nekat keluar rumah tanpa membungkus diri dengan sarung.
“Sebagian-hingga timbul cerita (anekdot), bila di pasar (Kecamatan Bungin) telah ada orang yang datang gunakan sweater tebal, artinya itu orang Nating,” tutur lelaki yang baru menjabat kepala dusun sebagian bulan ini.
Suhartono mengakui, komoditas utama di pelosok Kabupaten Enrekang itu yaitu kopi arabika. Ketinggian Nating dirasa amat tepat untuk menumbuhkan tanaman yang sudah berumur zaman penjajahan itu. Sisanya, mereka menyelingi kesibukan bertani dengan beternak sapi.
Penduduk dusun Nating dan Katabi pernah hidup dengan sistem ladang bermigrasi-pindah dan semi nomaden. Tak besar kebun yang dikelola untuk bercocok tanam ada di tempat Pujappong. Dusun itu sekarang sudah ditinggalkan masyarakat lantaran telah menemukan daerah yang lebih strategis dan dapat dijangkau dari ibukota kecamatan.
“Namun orang tua kita hidup disana sambil tanam kopinya. Sampai sesudah pemerintah menawarkan lokasi dan lahan yang lebih pantas, makanya kami (warga Katabi dan Nating) pindah disini. Sebagian kini, di Pujappong masih ada gubuk-gubuk yang pernah jadi daerah tinggal warga,” kisah Tono, sapaannya.
Saban tahun, mereka wajib berkompetisi dengan penduduk desa lain yang juga bercocok tanam kopi arabika. Padahal dusun Nating masih menaruh sebagian batang tanaman arabika purba atau Arabica Typica, melainkan masyarakat lebih banyak menumbuhkan bibit kopi dari Jember. Ia itu dianggap lebih kencang berbuah dan harganya tidak seperti itu mencekik kehidupan petani.
Kendati demikian, salah satu petani Hasmin, terbukti konsisten berusaha menghidupkan kembali arabika terbaik asal Kabupaten Enrekang itu. Dia berusaha menjajal pemurnian arabika dengan mengerjakan cara sambung pucuk.
Apalagi, dia juga telah lama didapuk pemerintah kabupaten (pemkab) Enrekang sebagai penjaga lahan pemurnian arabika Desa Sawitto. Statusnya sebagai petani dari dusun terpencil juga tidak membikin Hasmin stop belajar. Dia justru lebih giat mencari tahu semua hal perihal kopi pasca panen.
Demi menerima info, dia hingga rela membikin gubuk baru di dekat pintu masuk dusun Nating. Gubuk simpel itu dihuni istri dan buah hati-buah hatinya sekalian, semenjak enam bulan silam. “Namun di dalam kampung, tak ada sinyal telepon sama sekali. Ia bila disini lazimnya ada satu atau dua garis, walaupun muncul karam. Paling tak, masih dapat digunakan untuk sms atau terima telepon,” jelas Hasmin.
Petani kopi asal Nating, lanjutnya, keok berkompetisi sebab kekurangan info. Upayanya itu membuahkan hasil. Dia telah tak jarang berkaitan dengan petani ataupun organisator kopi asal Bumi Massenrempulu. Dari mereka, Hasmin belajar perihal pengolahan kopi pasca panen. Mulai dari pengerjaan roasting (sangrai kopi) yang bagus, sampai pengemasan yang ciamik untuk pemasaran.
Sebagian, dia telah mengendalikan lisensi legal untuk bisnis pengadaan kopi bubuknya. Tak besar petani di dusun Nating malah tidak jarang minta bantuannya untuk urusan pemasaran kopi Kalosi khas Nating.
Hanya lelaki beranak sembilan itu juga terefleksi pada alat roasting yang dibuatnya sendiri. Hasmin mengaku, tidak pernah memperhatikan lantas alat-alat roasting modern.
Tak saja, adat istiadatnya untuk menggoreng kopi memaksa dia berprofesi lebih efisien. Kalau pelak, dia membayangkan dapat mempunyai alat roasting yang mempermudah pengolahan kopi pasca-panen.
“Tak hanya membayangkan desainnya di kepala. Namun ada gambar. Ia hingga sebulan. Ia untuk pengerjaan pembuatannya, hanya butuh seminggu,” paparnya sambil memeragakan putaran roasting. Dia mengaku, terinspirasi dari alat aduk semen atau molen beton . Bahan atau material untuk modifikasinya juga dikumpulkan sedikit demi sedikit.
Dia menceritakan, ada tarif sekira Rp5 juta yang dihabiskan untuk membikin mesin hal yang demikian. Dia hingga wajib membeli sendiri alat las untuk menyambungkan pelat-pelat atau batang besinya.
Supaya, biji kopi green bean dengan berat optimal 5 kilogram dapat muat untuk disangrai memakai alat simpel itu. Sayangnya, alatnya itu masih wajib memanfaatkan bahan bakar dari kayu yang dilesakkan pada lubang tungku kecil di bawah miniatur “molen” itu. “Tak masih berkeinginan beri tambahan ini alat.
Bagaimana dapat dikendalikan panasnya dari sini, tak perlu lagi ditiup,” imbuhnya menunjuk-nunjuk komponen belakang roaster karyanya.
Kejeniusan mesin sangrai Hasmin menandakan motivasi pantang menyerah yang dimiliki petani-petani perbatasan Enrekang – Luwu itu. Hidup tanpa jaringan telepon dan listrik yang memadai tidak jadi halangan untuk terus berinovasi.
Kelak, saat beton-beton halus telah menutupi jalan menuju dusun Nating dan Katabi, mereka berpeluang meningkatkan pemasaran kopinya.